Dampak Pola Asuh Strict Parents bagi Perkembangan Anak

Daftar Isi

Istilah strict parents belakangan menjadi populer, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda yang mulai menyadari efek jangka panjang dari pola asuh yang terlalu keras atau disiplin yang diterapkan secara berlebihan. Di satu sisi, ada keyakinan bahwa disiplin dan aturan yang kaku akan membentuk anak menjadi pribadi yang sukses dan bertanggung jawab. Namun, di sisi lain, tekanan dan ekspektasi yang terlalu tinggi sering kali justru memberikan dampak sebaliknya, meninggalkan luka psikologis dan menghambat potensi anak untuk berkembang menjadi individu yang utuh. Pola asuh ini, yang dalam terminologi psikologi dikenal sebagai pola asuh otoriter, menempatkan kepatuhan dan kontrol di atas segalanya, sehingga seringkali mengabaikan kebutuhan emosional dan ruang pribadi anak.

Penting untuk dipahami bahwa tidak semua orang tua yang menerapkan aturan tertentu bagi anak-anaknya merupakan strict parents. Selama aturan atau batasan yang diberikan tidak berlebihan dan masuk akal hal ini justru dapat dikategorikan sebagai pola pengasuhan yang baik. Namun, saat aturan tersebut menjadi absolut, komunikasi hanya berjalan satu arah, dan tidak ada ruang untuk anak mengemukakan pendapat maka pola asuh ini dapat dikategorikan sebagai strict parents.

Apa Sebenarnya Pola Asuh Strict Parents atau Otoriter Itu?

Secara sederhana, strict parents adalah istilah populer untuk menggambarkan gaya pengasuhan otoriter. Pola asuh ini ditandai dengan tingginya tuntutan dan rendahnya responsivitas. Artinya, orang tua memiliki ekspektasi yang sangat tinggi terhadap anak, namun mereka cenderung tidak hangat, tidak suportif, dan kurang peka terhadap kebutuhan, perasaan, dan sudut pandang anak. Mereka percaya bahwa anak harus mengikuti aturan tanpa bertanya, dengan keyakinan bahwa "orang tua tahu yang terbaik".

Komunikasi dalam keluarga dengan pola asuh ini cenderung bersifat diktator: dari orang tua ke anak. Perintah, kritik, dan hukuman menjadi alat utama untuk membentuk perilaku, sementara pujian, dialog, dan validasi emosi sangat minim. Tujuannya mungkin baik, yaitu mendisiplinkan anak, namun metode yang digunakan sering kali mengabaikan elemen penting dalam perkembangan psikologis anak yakni: kehangatan, kepercayaan, dan kemandirian.

Mengenali Tanda-Tanda Kamu Dibesarkan oleh Strict Parents

Terkadang, sulit untuk mengidentifikasi apakah pola asuh yang kamu terima termasuk dalam kategori otoriter atau hanya sekadar disiplin. Setidaknya, ada beberapa tanda bahwa kamu dibesarkan oleh strict parents, yakni:

1. Aturan yang Sangat Banyak, Kaku, dan Tidak Bisa Diganggu Gugat

Ciri utama dari strict parents adalah keberadaan segudang aturan yang kaku. Orang tua menetapkan standar yang sangat tinggi dan menuntut kepatuhan mutlak tanpa adanya ruang untuk negosiasi atau diskusi. Aturan ini seringkali mencakup hampir semua aspek kehidupan anak, mulai dari jam belajar, memilih teman, hingga kegiatan ekstrakurikuler. Pelanggaran sekecil apa pun biasanya akan direspons dengan konsekuensi atau hukuman yang tegas, tanpa mempertimbangkan konteks atau alasan di baliknya.

2. Komunikasi Satu Arah 

Dalam keluarga dengan pola asuh ini, komunikasi cenderung berjalan dari atas ke bawah. Orang tua lebih banyak memberi perintah dan tuntutan daripada mendengarkan pendapat atau perasaan anak. Ungkapan seperti "pokoknya harus" atau "anak kecil tahu apa" menjadi sangat lumrah. Orang tua tipe ini cenderung bersikap dingin, jarang memberikan pujian, dan tidak responsif terhadap kebutuhan emosional anak. Mereka lebih fokus pada hasil dan pencapaian daripada proses dan perasaan yang dialami anak selama proses tersebut.

3. Ekspektasi Tinggi yang Tidak Realistis

Memiliki harapan yang tinggi terhadap anak sebenarnya adalah hal yang wajar. Namun, pada strict parents, harapan ini seringkali melampaui kapasitas dan minat anak. Mereka mendorong anak untuk mencapai prestasi akademik atau non-akademik terbaik versi mereka, bukan versi terbaik dari diri anak itu sendiri. Tekanan untuk selalu sempurna dan memenuhi ekspektasi inilah yang menjadi sumber stres dan kecemasan utama bagi anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan ini.

4. Kontrol Berlebihan dan Kurangnya Kepercayaan

Strict parents seringkali tidak memberikan kepercayaan kepada anak untuk membuat keputusannya sendiri. Mereka akan mengontrol secara detail (micro-manage) setiap langkah yang diambil anak untuk memastikan tidak ada kesalahan yang dibuat. Rasa tidak percaya ini membuat anak tidak memiliki banyak kebebasan. Orang tua akan terus-menerus mengawasi, mempertanyakan, dan bahkan mengatur jadwal harian anak secara ketat, yang pada akhirnya menghambat perkembangan kemandirian mereka.

Dampak Pola Asuh Strict Parents bagi Perkembangan Anak




Pola asuh strict parents mungkin terlihat berhasil dalam menciptakan anak yang patuh di permukaan. Namun, di balik kepatuhan itu, terdapat berbagai dampak psikologis negatif yang bisa terbawa hingga dewasa.

1. Risiko Gangguan Kesehatan Mental

Adanya tekanan yang terus menerus untuk memenuhi standar yang tinggi, ketakutan akan hukuman, dan kurangnya dukungan emosional menciptakan lingkungan yang subur bagi berkembangnya masalah kesehatan mental. Studi dari University of Cambridge menunjukkan korelasi yang kuat antara pola asuh yang keras dengan meningkatnya risiko kecemasan (anxiety) dan depresi pada anak. Mereka hidup dalam kewaspadaan terus-menerus, khawatir membuat kesalahan, yang pada akhirnya menguras energi mental dan emosional mereka.

2. Rendahnya Rasa Percaya Diri dan Harga Diri

Ketika setiap keputusan dibuat oleh orang tua dan setiap langkah selalu dikritik, anak akan tumbuh dengan keyakinan bahwa dirinya tidak mampu. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh strict parenting berisiko tinggi memiliki rasa percaya diri (self-esteem) yang rendah. Mereka ragu terhadap kemampuan diri sendiri, takut mengambil inisiatif, dan kesulitan membuat keputusan, bahkan untuk hal-hal sepele dalam hidupnya. Perasaan "tidak pernah cukup baik" ini bisa terbawa hingga dewasa.

3. Kesulitan dalam Membangun Hubungan Sosial

Anak yang dibesarkan tanpa ruang untuk mengekspresikan perasaan secara terbuka akan kesulitan saat harus berinteraksi di lingkungan sosial. Mereka cenderung menjadi pribadi yang kaku, pemalu, atau justru terlalu agresif. Kurangnya kehangatan dalam keluarga membuat mereka canggung dalam menunjukkan empati dan membangun ikatan emosional yang sehat dan bermakna dengan orang lain.

4. Kesulitan Mengambil Keputusan dan Kurang Inisiatif

Bayangkan seluruh hidupmu diatur oleh orang lain. Ketika tiba saatnya kamu harus membuat keputusan penting sendiri seperti memilih karier atau pasangan hidup kamu akan merasa tidak mampu melakukannya. Anak yang terbiasa didikte akan tumbuh menjadi orang dewasa yang ragu-ragu, tidak percaya pada penilaiannya sendiri, dan selalu mencari validasi dari figur otoritas lain.

5. Perilaku Memberontak dan Agresif

Anak yang merasa terlalu terkekang seringkali akan mencari cara untuk melepaskan diri. Pada beberapa kasus, ini bisa termanifestasi dalam bentuk pemberontakan. Mereka mungkin akan dengan sengaja melanggar aturan sebagai bentuk perlawanan terhadap figur otoritas. Lebih jauh lagi, karena mereka belajar bahwa cara mendisiplinkan adalah dengan agresi verbal (bentakan) atau hukuman, mereka berisiko meniru perilaku ini. Anak bisa menjadi lebih mudah marah dan bahkan melakukan perundungan (bullying) terhadap teman-temannya sebagai cara melampiaskan frustrasi. Dan ketika mereka mulai mendapatkan sedikit kebebasan misalnya saat mulai kuliah atau tinggal jauh dari rumah mereka mulai akan mencoba-coba hal yang sebelumnya tidak pernah mereka coba. Mereka mungkin akan terlibat dalam perilaku berisiko yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya sebagai cara untuk "menebus" kebebasan yang hilang dan sebagai bentuk protes terhadap kontrol yang selama ini mereka rasakan.

6. Berbohong sebagai Mekanisme Pertahanan Diri

Untuk menghindari konflik, hukuman, atau kekecewaan orang tua, anak-anak dari keluarga strict parents seringkali memilih untuk berbohong. Ini bukan karena mereka memiliki karakter penipu, melainkan sebagai bentuk survival mechanism. Karena bagi mereka, kebohongan menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan sedikit ruang gerak atau melakukan hal-hal yang mereka sukai tanpa harus menghadapi kemarahan orang tua.

Bagaimana Sebaiknya Kamu Menghadapi "Strict Parents"?

Menghadapi orang tua yang otoriter memang bukan perkara mudah. Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Kuncinya terletak pada komunikasi dan strategi yang tepat.

  • Pahami Perspektif Mereka: Cobalah untuk mengerti bahwa di balik sikap keras mereka, biasanya ada rasa cinta dan kekhawatiran yang besar. Memahami alasan di balik aturan mereka bisa membantumu lebih tenang dan berempati.
  • Bangun Komunikasi yang Terbuka dan Jujur: Carilah waktu yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati. Sampaikan perasaanmu dengan jujur namun tetap menggunakan bahasa yang sopan dan hormat. Jelaskan sudut pandangmu secara logis.
  • Tunjukkan Tanggung Jawab: Cara terbaik untuk mendapatkan kepercayaan adalah dengan membuktikannya. Tunjukkan bahwa kamu adalah pribadi yang bisa diandalkan baik dalam studi, pergaulan, dan tugas-tugas di rumah. Kepercayaan yang tumbuh akan perlahan melonggarkan kekangan mereka.

Jika komunikasi dengan orang tua terasa buntu, jangan ragu untuk melibatkan orang dewasa lain yang kamu percaya, seperti anggota keluarga lain, guru, atau konselor sekolah. Memiliki tempat untuk berbagi cerita dapat sangat melegakan.

Kesimpulan

Pola asuh otoriter, meskipun mungkin didasari oleh niat baik orang tua untuk melindungi dan mendisiplinkan anak, terbukti membawa lebih banyak dampak negatif bagi perkembangan psikologis anak dalam jangka panjang. Aturan yang kaku, minimnya kehangatan, dan kontrol berlebihan dapat memadamkan rasa percaya diri, kemandirian, dan kebahagiaan anak. Ingat, anak bukanlah robot yang bisa diprogram, melainkan individu unik yang membutuhkan bimbingan, bukan kekangan; membutuhkan dukungan, bukan tuntutan; dan membutuhkan cinta tanpa syarat untuk bisa bertumbuh secara optimal. Pada akhirnya, orang tua harus ingat bahwa tujuan pengasuhan adalah untuk membimbing anak menjadi individu yang utuh, mandiri, bertanggung jawab dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri, bukan menjadi pribadi yang cenderung hanya ingin menyenangkan orang lain dan memenuhi ekspektasi orang lain. Jangan sampai, anak justru tumbuh menjadi seorang people pleaser yang tidak enakan dengan orang lain.

Posting Komentar